Satu bulan terakhir, saya mendapat permintaan pertemanan tak kurang dari 10 (sepuluh) orang yang berasal dari desa saya (Desa Longos, Kec. Gapura Kab. Sumenep). Perasaan pertama saya merasa senang, karena tentu dapat berjumpa seorang teman di dunia maya. Tujuh tahun terakhir jarang sekali berjumpa teman di desa tempat saya dilahirkan. Karena pertengahan tahun 2009 saya berada di Pondok Pesantren dan saat ini di Jogja. Hari ini dapat berinteraksi lebih luas daripada melalui sms via handphone.
Disamping
itu, terasa ada perkembangan peradaban di sebuah desa terpencil. Meski tak
se-terpencil Papua dan Irian Jaya. Dapat dibilang Kabupaten Sumenep paling
timur di Pulau Madura, setelah Kabupaten Pemekasan, Sampang dan Bangkalan.
Kecamatan Gapura adalah kecamatan nomor dua paling timur di Sumenep. Desa
Longos desa paling timur di Kecamatan Gapura. Semakin jauh dari pusat
pembangunan di Jawa, semakin lambat pula perkembangan teknologinya.
Pada tahun
2000-an, alat komunikasi berupa handphone jarang ditemui. Tetangga yang
memiliki HP bisa dihitung dengan jari. Dan kebetulan orang tua saya sendiri
baru memegang HP sekitar tahun 2008 akhir. Meski tahun 2005 alat komunikasi itu
sudah mulai marak dimiliki oleh masyarakat Sumenep, namun di kelurahan tempat
saya tinggal masih jarang sekali dalam satu keluarga memiliki HP.
Sebagai
antisipasi karena tidak punya HP, biasanya jika ada perlu yang begitu penting
dan jauh dijangkau maka nebeng tetangga sebelah untuk nelepon. Saya
ingat betul saat ada keperluan menghubungi family di Jawa tepatnya di Kabupaten
Banyuangi, Ibu saya menelepon melalui HP tetangga. Terkesan tiada alat yang
lebih canggih dari telepon genggam yang satu ini. HP adalah satu-satunya alat
komunikasi yang sudah canggih. Pada waktu itu, pada saat saya kelas delapan
Madrasah Tsanawiyah, sama sekali tidak mendengar dunia internet dengan
fasilitas facebook, twitter, gogle, e-mail dan sejenisnya. Ya saya sama sekali tidak
pernah mendengar istilah itu. Boleh saja saudara tidak percaya. Dan mungkin,
istilah itu akrab di kota namun di desa tempat saya tinggal tidak mengenal hal
itu.
Setelah Handphone. Akhir tahun 2012, dapat dipastikan semua kepala keluarga memiliki
alat tersebut. Dalam perkembangannnya, HP sudah menjadi “mainan” anak-anak
sekolahan, tidak lagi kepala keluarga (baca: bapak-bapak). Hal ini menandakan
arus teknologi informasi semakin pesat merasuk kepelosok pedesaan. Perkembangan
teknologi komunikasi berupa HP, rupanya turut membantu memperkenalkan dunia
internet dikalangan remaja. Melalui HP yang tersedia akses internetnya, anak
muda desa mudah masuk dalam dunia facebook.
Bersamaan dengan
ini, dunia internet mulai dekat dalam kehidupan masyarakat, utamannya anak
muda. Mereka mulai kenal dan akrab secara perlahan dengan dunia maya. Melalui
HP inilah mereka dapat mengakses internet. Kondisi seperti ini, telah membawa
satu kebanggaan yang berakibat pada pergeseran nilai sosial.
Memudahkan.
Itu alasan pertama seseorang “memelihara” HP, facebook, twitter, gogle, e-mail,
dan seterusnya. Dunianya semakin terbantu melalui alat komunikasi yang begitu canggih
ini. Interaksi tak mengenal jarak dan waktu. Kapan saja dapat berkomunikasi,
tentu efektifitas dan efisiensi didapat
Dilema teknologi komunikasi. Meski kadang tak terasa memakan biaya yang
cukup besar. Namun seberapa besarpun pulsa yang dikeluarkan seolah tak terasa
karena jasa “memudahkan” tadi.
Disamping
biaya, waktu sering juga terkorbankan. Waktu untuk bersama keluarga mungkin
tidak berkurang, dan kualitas kebersamaan jelas sedikit berkurang nilainya.
Bukannya kita sendiri mengalami, merasakan saat-saat bersama teman atau
keluarga. Secara fisik kita dekat namun dalam kondisi sibuk dengan layar
komputer atau laptop, menatap layar telepon genggam, dan asyik bercengkrama
dengan peranti canggih miliknya.
Mendekatkan
yang jauh dan yang dekat menjadi jauh. Kalimat ini menemukan pengertianya di
sini.
Membaca dan
menulis juga berkurang kualitas dan kuantitasnya. Kita kadang merasa sudah
banyak membaca, juga menulis, tapi sejatinya itu dunia percakapan yang
mengambil bentuk tulisan. Membaca “celoteh” membaca “ucapan”, menulis “celoteh”
menulis “ucapan”. Memang banyak yang membaca laman berita media massa, loncat
sana-sini mencari judul yang menarik. Namun dengan gaya penulisan di dunia maya
yang serba ringkas, kebiasaan pengguna yang membaca tidak tuntas. Umumnya
kualitas dan kuantitas membaca dan menulis berkurang. (Tere Liye: Kompas, 6/7).
FB Sudah Familiar di Desa Saya
Reviewed by Robi
on
18:51:00
Rating:
No comments:
Post a Comment