Politik Perempuan


UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota DPR, DPD, dan DPRD terbuka ruang lebar kepada kaum perempuan untuk aktif sebagai peserta dalam Pemilu. Kebijakan ini mengubah sistem demokrasi di Indonesia.

Sistem rekrutmen calon dalam partai politik (Parpol) berubah total sejak Pemilu tahun 2009 dan 2014. Parpol diwajibkan memenuhi 30 persen kursi bagi perempuan.

Ini menunjukkan afirmasi politik perempuan. Atau kebijakan yang bersifat mendorong  perempuan aktif dalam bidang politik, karena dunia politik masih diyakini kalangan feminis. Dunianya kaku, arogan, dan keras. Kebijakan afirmasi diperlukan karena adanya kesenjangan jender, baik dari segi kuantitas atau keterbatasan kultur pada perempuan. Dalam sejarah perjuangan Kartini, masa lalu perempuan tak lebih dari pembantu suami. Ruang lingkup hidupnya sangat sempit, terbatas di rumah, sumur dan dapur. Justifikasi yang jelas tidak adil.

Dalam perjalanannya, perempuan mempunyai tempat yang sama dengan laki-laki. Termasuk dalam ranah politik. Di Indonesia perempuan dapat menduduki kursi kepresidenan, sementara di Amerika Serikat perempuan belum bisa mencatat namanya sebagai pemegang tampuk kekuasaan. Tahun 2001 menjadi angin segar bagi kaum perempuan saat Megawati Soekarno Putri dibaiat menjadi Presiden RI.

Jalan perempuan dalam politik nasional tak dapat disangsikan. Jika dilihat dari persentase kualitatif keterlibatan politik perempuan cukup membanggakan. Pada Pemilu 1999, perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen 9,2 persen. Tahun 2004, proporsinya meningkat jadi 11,81 persen. Peningkatan cukup besar terjadi pada Pemilu 2009, 18 persen dari total jumlah anggota.

Kouta Perempuan. Jumlah bukan jaminan kualitas peran. Apalagi, siasat partai untuk mengisi kuota ini sangat mengecewakan, yaitu dengan mengambil caleg perempuan yang sudah populer seperti artis atau perempuan pengusaha. Suatu tindakan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik. Atau perempuan yang tidak populer hanya dijadikan sebagai pemanis. Regulasi rekrutmen Parpol sungguh ironis.

Oleh sebab itu, kesempatan ini perlu dimanfaatkan dengan tidak gagap. Utamanya oleh Parpol. Yaitu melalui kaderisasi pengurus perempuan dan menghilangkan budaya politik patriarki. Di Indonesia budaya ini yang tak mudah untuk dilawan. Regulasi sudah bagus, tetapi tanpa dukungan budaya dan persepsi masyarakat, regulasi ini tidak terlalu banyak mendorong jumlah keterwakilan perempuan.

UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota DPR, DPD, dan DPRD terbuka ruang lebar kepada kaum perempuan untuk aktif sebagai peserta dalam Pemilu. Kebijakan ini mengubah sistem demokrasi di Indonesia.

Sistem rekrutmen calon dalam partai politik (Parpol) berubah total sejak Pemilu tahun 2009 dan 2014. Parpol diwajibkan memenuhi 30 persen kursi bagi perempuan.

Ini menunjukkan afirmasi politik perempuan. Atau kebijakan yang bersifat mendorong  perempuan aktif dalam bidang politik, karena dunia politik masih diyakini kalangan feminis. Dunianya kaku, arogan, dan keras. Kebijakan afirmasi diperlukan karena adanya kesenjangan jender, baik dari segi kuantitas atau keterbatasan kultur pada perempuan. Dalam sejarah perjuangan Kartini, masa lalu perempuan tak lebih dari pembantu suami. Ruang lingkup hidupnya sangat sempit, terbatas di rumah, sumur dan dapur. Justifikasi yang jelas tidak adil.

Dalam perjalanannya, perempuan mempunyai tempat yang sama dengan laki-laki. Termasuk dalam ranah politik. Di Indonesia perempuan dapat menduduki kursi kepresidenan, sementara di Amerika Serikat perempuan belum bisa mencatat namanya sebagai pemegang tampuk kekuasaan. Tahun 2001 menjadi angin segar bagi kaum perempuan saat Megawati Soekarno Putri dibaiat menjadi Presiden RI.

Jalan perempuan dalam politik nasional tak dapat disangsikan. Jika dilihat dari persentase kualitatif keterlibatan politik perempuan cukup membanggakan. Pada Pemilu 1999, perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen 9,2 persen. Tahun 2004, proporsinya meningkat jadi 11,81 persen. Peningkatan cukup besar terjadi pada Pemilu 2009, 18 persen dari total jumlah anggota.

Kouta Perempuan. Jumlah bukan jaminan kualitas peran. Apalagi, siasat partai untuk mengisi kuota ini sangat mengecewakan, yaitu dengan mengambil caleg perempuan yang sudah populer seperti artis atau perempuan pengusaha. Suatu tindakan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik. Atau perempuan yang tidak populer hanya dijadikan sebagai pemanis. Regulasi rekrutmen Parpol sungguh ironis.

Oleh sebab itu, kesempatan ini perlu dimanfaatkan dengan tidak gagap. Utamanya oleh Parpol. Yaitu melalui kaderisasi pengurus perempuan dan menghilangkan budaya politik patriarki. Di Indonesia budaya ini yang tak mudah untuk dilawan. Regulasi sudah bagus, tetapi tanpa dukungan budaya dan persepsi masyarakat, regulasi ini tidak terlalu banyak mendorong jumlah keterwakilan perempuan.

Politik Perempuan Politik Perempuan Reviewed by Robi on 19:29:00 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.