Reformasi Politik dan Peran Rakyat


Dalam Pemilu 2014, merupakan kesempatan memperbaiki budaya politik Nusantara. Reformasi 1998 kembali kita benahi dengan seksama, demi memendam sejarah kelam politik selama ini.

Salah satu agenda reformasi adalah tercapainya sistem demokratis dalam pemilihan umum. Sistem ini menjadi harapan terpenting dalam tegaknya keadilan dan kearifan. Bahwa kita  ketahui, sistem demokrasi Orde Baru dikelabui oleh penguasa untuk melanggengkan tampuk kekuasaannya. Hal yang sama, demokrasi adalah kamoflase dalam pemerintahan Soeharto, sebab hak memilih dan berpendapat dibatasi. Dibatasi sesempit-sempitnya.

Berawal dari kesadaran rohani, publik kemudian bangkit dan berteriak menyatakan kontra pemimpin otoriter. Bahwa kepemimpinan Soeharto berlawanan arah Undang-Undang Dasar 1945, dalam menjamin kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul. Atas keresahan ini, stakeholders kampus melawan dan melengserkan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998.

Sejak itu, menjadi angin segar perubahan pada yang lebih baik. Bahwa reformasi akan mengubah kondisi bangsa melalui sistem politik yang demokratis. Perbaikan sistem memberi peluang output kepemimpinan yang lebih baik. Namun begitu, prosedural sistem belum melahirkan substansi dari sistem tersebut. Artinya, kini, pemimpin yang kita pilih secara demokratis tak jauh beda dengan kepemimpinan orde baru. Dibuktikan melalui penguasa yang belum pro-rakyat, maraknya kasus korupsi, oligarki politik, ketidakberesan hukum, perselisihan antar elit tak berkesudahan, dan seterusnya.

Akibat demikian, reformasi politik mengurang daya tariknya. Semangat reformasi dianggap belum membuahkan hasil seperti diharapkan. Belakangan, ada gerakan propaganda yang diilustrasikan penguasa Orde Baru Soeharto, “I peiye le khabare? Wis mangan urung? Penak zamanku to?!”. Tulisan seperti ini dapat ditafsiri dua hal. Pertama kondisi sosial-ekonomi lebih terjamin pada masa Orde Baru. Kedua, kondisi disemua bidang (sosial, politik dan ekonomi) sama atau lebih buruk ketimbang masa pemerintahan Jendral Soeharto.

Berkaitan ilustrasi tadi, jangan membuat belok pikiran kita. Kekurangan apapun mesti kita benahi demi menghasilkan yang lebih baik. Bukannya transisi politik butuh pembelajaran?. Artinya, kekurangan tetap menjadi agenda bersama untuk dilengkapi dan diperbaiki. Kegagalan melahirkan pemimpin pro-rakyat bukan kesalahan sistem, bukankah ada perbaikan dibanding Orde Baru? Atau, lantas memberi jempol pada sistem otoriter yang jelas melanggar UUD 1945. Tentu saja tidak.

Transisi politik. Kondisi peralihan sistem selalu diwarnai ketidakberesan, dan merupakan hal yang wajar. Begitu pula kondisi di Indonesia pasca reformasi 1998, setelah peralihan sistem dari otoriter menjadi demokratis. Ada sederet bahan evaluasi untuk mencapai kesempurnaan. Salah satunya, output wakil rakyat yang belum amanah demi dan atas nama rakyat. Seiring kemudian, kebijakan yang diambil cendrung sepihak, berorientasi kelompok atau bersifat kepentingan pribadi. Sifat demikian menemukan relevansinya dalam sejarah perpolitikan di negeri ini.

Menelisik sistem politik kerajaan dan Kolonial Belanda rupanya turut membentuk karakter pemerintahan Orde Lama dan Orba. Dimana penguasa adalah sumber kebenaran. Lagi pula, posisi dalam memerintah mencerminkan sistem kerajaan. Mulai dari tindak-tanduk kepemimpinannya sampai mainset berpikirnya. Semestinya pemimpin “melayani” rakyat, yang ada justru minta dilayani. Budaya demikian terus mengalir dalam sistem pemerintahan pascareformasi.

Transfer budaya itulah yang menjadi warna dan merarnai sistem pascareformasi. Masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi. Salah satunya adalah sistem demokrasi prosedural diiringi kondisi substansial. Misalnya melahirkan pemimpin yang pro-rakyat. Hal yang tak mudah ini perlu waktu dan proses. Kesabaran dan optimisme harus menjadi bekal untuk mencapai semua itu.
  
Di tangan rakyat. Penulis kira, keberhasilan reformasi dalam membentuk sistem politik demokratis membuka peluang yang cukup lebar mencari dan menentukan pemimpin yang layak. Sehingga, melalui sistem demokratis ini, apapun yang terjadi merupakan buah pikiran rakyat. Rakyat penentu utama arah politik kita—melalui pemimpin yang dipilih dalam Pemilu—, termasuk  ke arah mana bangsa-negara ini akan dibawa. Rakyat, melalui suaranya akan menjawab semua itu. Keputusan di tangan rakyat.

Sistem pemilu demokratis menjadi awal terpilihnya para pemimpin negeri yang pro-rakyat. Dengan otoritas penuh di tangan rakyat, adalah pilihan seluas-luasnya menentukan pemimpin menurut keyakinan dan kepercayaan rakyat. Calon pemimpin tak lebih jajakan untuk dipilah dan dipilih. Kecerdasan rakyat dalam memilih tentu modal utama lahirnya pemimpin ideal.

Dalam kesempatan pemilu 2014, saatnya kita bersuara, mengubah arah politik pada yang lebih baik. Kita (rakyat) yang akan menentukan semua itu, melalui suara yang kita punya bersama mencari sosok pemimpin ideal untuk mengemban amanah lima tahun kedepan. Selamat memilih.
Reformasi Politik dan Peran Rakyat Reformasi Politik dan Peran Rakyat Reviewed by Robi on 19:26:00 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.