“Kritik yang membuat saya berpikir, dan kritik yang menjadikan saya dewasa.
Tapi yang ngritik jangan asal ‘ngejeblos’”. (KH. Zainuddin MZ. dalam ceramahnya).
Pagi ini, Senin
(25/3), saya mendapat teguran bernada kritik karena kesalahpahaman mereka dalam
shalat. Sebagai imam shalat subuh, tanpa sadar saya lupa membaca qunut[1], kemudian
menggantinya dengan sujud sahwi[2] sebelum
salam. Selesai shalat, salah satu jamaah menegur dan menyalahkan atas sujud sahwi
yang saya lakukan itu. Dengan alasan, bahwa qunut itu sunnah karenanya
tidak perlu sujud sahwi.
Menutut pemahaman saya selama ini, menambah sujud sahwi
tersebut hukumnya sunnah. Meninggalkan pekerjaan dalam sholat yang sifatnya
sunnah, maka dianjurkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi (sujud
karena lupa).
Peristiwa ini
menghadapkan pada suatu kenyataan yang memilukan, yaitu dikritik. Saya tidak
alergi terhadap kritik, kritik memang menu saya. Apalagi hidup di organisasi,
kritik tidak dapat ditolak, selintingan pasti akan terlontar, baik dari bawahan
atau atasan. Namun yang masalah, kritik kali ini tidak berdasar dan sama sekali
tidak beralasan.
Waktu dikritik
saya memilih senyum dan diam. Saya kira ini adalah jalan terbaik daripada
berkomentar. Senyum bernilai shadaqah, diam adalah emas. Dan saya pikir,
seandainya melawan atas kebenaran yang ‘diplesetkan’ tersebut, niscaya ketegangan
akan semakin menganga. Beliau egois,--tidak berlebihan barangkali-- memaksakan
jalan pikirannya untuk diterima. Sehingga saya memilih terdiam dari pada
berargumen. Disamping itu, saya memahaminya bahwa beliau tidak tahu, atau tahu
namun tidak dianjurkan menurut ajaran Muhammadiyah.
Setelah
dikritik saya terharu, terharu bukan karena kata-kata beliau yang menuding
salah. Namun tak habis pikir kehidupan dimasa yang akan datang. Betapa pemimpin
tidaklah mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Buktinya memimpin dalam
shalat saja begitu. Kebenaran kadang menjadi kesalahan, maklum (mungkin) beliau
belum tahu. Yang saya alami sekarang, menjadi takmir masjid, begitu serbuan
kencang sekali, kritik tak sekedar kritik. Suara bernada benci tercermin dari
gaya bahasanya, sekaligus raut mukanya. Sedih sekali.
Karena saya
memahami ada perbedaan pendapat mungkin, atau kesalahpahaman saja, maka
memperdebatkan qunut dan sujud sahwi, saya kira kurang dewasa.
Yang terpenting sekarang, bagaimana menjadi orang yang mampu berpikir sebelum
bertindak. Itu saja. Berpikir sebelum menyalahkan orang lain. Sederhana sekali
menjadi orang dewasa. Melaksanakan ini terkadang memang sulit. Terlebih jika
egoisme selalu dipelihara.
Barangkali, tak
ada yang berbeda dengan kenyataan yang akan terjadi pada suatu hari nanti. Saya
meyakini bahwa tempaan yang terjadi itu langkah untuk selanjutnya. Bagaimapun,
tuhanlah yang mengatur skenario kehidupan dan perjalanan manusia. Manusia dituntut
berusaha sekuat tenaga, terlepas dari itu semua, ada Allah penentu utama.
Inilah yang saya definisikan dengan proses. Berproses tak butuh hanya tersenyum
apalagi terbaring di kasur yang empuk. Pastilah, proses identik dengan
perjuangan dan rintangan. Termasuk kritikan, adalah suatu pendewasaan pikiran
dan rasa.[]
Sleman, 25 Maret 2013
[1] Adalah bacaan doa sunah dalam
shalat subuh yang dilaksanakan pada rakaat kedua setelah I’tidal. Dalam tradisi
NU, berdoa sambil lalu mengangkat tangan.
[2] Sujud sahwi adalah sujud dua
kali sesudah tasyahud akhir sebelum salam (sujud karena lupa). (Waqid Yusuf,
dkk.:2010).
Kritik dan Keluh Kesah Pagi Hari
Reviewed by Robi
on
16:07:00
Rating:
No comments:
Post a Comment